NIKAH BEDA AGAMA

Abdul Moqsith Ghazali, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membeberkan perspektif di dalam Islam dalam memandang nikah beda agama. Dalam diskusi seusai pemutaran film "Bunga Kering Perpisahan" karya Denny JA dan Hanung Bramantyo, Selasa (23/10/2012) di Pisa Kafe Mahakam, Moqsith memberi penjelasan yang nukilannya bisa dibaca di bawah ini.



Ada tiga kelompok ulama Islam dalam memandang pernikahan beda agama:

Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya Al Qur'an, Surat Al Baqarah: 221 yang mengharamkan orang Islam menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Juga Surat Al Mumtahanah: 10, yang melarang  orang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara Surat Al Maidah: 5 membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan ahli kitab.

Ulama kelompok ini mengacu pada tindakan Umar bin Khattab. Seperti ditulis Ibnu Katsir bahwa ketika turun Surat Al Mumtahanah 10 turun, Umar langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti Abi Umayyah ibn Mughirah dan Bani Makhzim dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwal dari Khuza'ah. Umar juga pernah hendak mencambuk orang yang menikah dengan ahli kitab. Umar marah karena ia kuatir tindakan beberapa orang yang menikahi perempuan ahli kitab itu akan diikuti oleh umat Islam lainnya, sehingga perempuan-perempuan Islam tidak menjadi pilihan laki-laki Islam. Tapi kemarahan Umar ini tak mengubah pendirian sebagian sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan ahli kitab.

Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yang bersangkutan menceraikan istrinya yang ahli kitab. Khudzaifah bertanya pada Umar "apakah Anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan ahli kita itu haram". Umar menjawab "tidak. Saya hanya khawatir". "Jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidaksetujuannya tidak didasarkan secara sungguh-sungguh pada teks Al Qur'an melainkan pada kehati-hatian dan kewaspadaan.

Kedua, kelompok ulama yang berpendapat keharaman menikahi orang musyrik dan kafir sudah dibatalkan oleh Surat Al Maidah: 5 yang membolehkan lelaki muslim menikahi perempuan ahli kitab. Ayat ini dianggap menganulir ayat sebelumnya Surat Al Baqarah: 221 dan Surat Al Mumtahanah: 10. Ibnu Katsir sendiri mengutip Ibnu Abbas melalui Ali bin Abi Thalhah berkata bahwa perempuan ahli kitab dikecualikan dari Al Baqarah 22.

Pendapat ini didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubari, Makhul, Al Hasan, Al Dhahak, Zaid bin Aslam dan Rabi' bin Anas. Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang Watsani (para penyembah berhala) dan tidak termasuk di dalamnya ahli kitab. 

Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat nabi yang melakukan nikah beda agama, di antaranya adalah Ustman bin Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa'ad ibn Abi Waqash dan sebagainya. Menurut Ibnu Qudamah, Hudaifah menikah dengan perempuan Majusi. Tapi menurut Muhammad Rasyid Ridla, Khudzaifah bukan menikah dengan perempuan Majusi tapi dengan perempuan Yahudi.

Ketiga, ulama yang membolehkan secara mutlak. Ulama ketiga ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan lelaki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab, maka ulama terakhir ini juga membolehkan perempuan muslim menikah dengan laki-laki ahli kitab. Bagi mereka tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab atau lelaki ahli kitab dan perempuan muslim.
Menurut kelompok terakhir ini tak ada teks Al Qur'an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab.

Kekhawatiran pernikahan perempuan muslimah yang menikah dengan laki-laki ahli kitab akan melahirkan generasi non muslim tidak terbukti. Berbagai penelitian justru jika seorang ibu beragama islam, 70% lebih agama anak mengikuti agama ibu. "Ini sesuai dengan pepatah arab: Ibu adalah sekolah pertama," kata Moqsith.

Ulin Yusron /beritasatu
Submit URL