Di ruangan belakang masjid al-Farah di West Broadway Manhattan, Amerika Serikat, Lex Hixon, pimpinan sebuah kelompok Sufi, bertutur:
Ketika kuliah di Universitas Columbia saya mempelajari agama-agama di dunia. Saya bergabung dengan stasiun radio di New York. Selama empat belas tahun saya melakukan wawancara mingguan dengan para pimpinan dan guru-guru agama dari berbagai kelompok aliran. Dan di stasiun radio itulah saya berjumpa dengan dua syaikh yang hebat. Yang satu adalah Bawa Muhaiyaddeen dari Sri Lanka, yang mempunyai masjid di Philadelphia dan wafat pada 1986. Selama itu saya telah mewawancarainya sebelas kali dan saya menjadi sangat dekat dengannya.
Syaikh yang satu lagi adalah Muzaffer Ozak. Saya juga mewawancaramya di radio. Saya belum pernah bertemu Syaikh Muzaffer sebelum mewawancarainya. Saya hanya melihatnya duduk di sana dengan tenang. Kami mengatur semua mikrofon, dan saya minta agar program itu dimulai dengan suara azan. Lalu syaikh itu duduk di hadapan saya. Acara itu disiarkan dari puncak Empire State Building (azan yang kami udarakan membuat Empire State Building menjadi minaret tertinggi di dunia)-ketika panggilan shalat itu dikumandangkan, saya memandang wajah syaikh tersebut. Terlihat tetesan air mata mengalir di wajahnya. Saya pikir: Sungguh sebuah ketulusan spiritual. Dia mendengar panggilan itu lima kali sehari, tetapi tetap saja air matanya berlinang setiap kali mendengarnya.
Pada hari Minggu, kemudian hari Selasa malam, syaikh itu mengadakan majelis zikr di Katedral St. John. Melalui salah seorang darwisnya dia mengirimi saya setangkai bunga mawar. Saya memutuskan untuk tidak masuk ke dalam lingkaran peserta acara zikir itu. Saya berdiri di sudut dengan memegang mawar itu, dan dia terus memandang saya dari tengah lingkaran tersebut. Kemudian dia mengundang saya untuk datang pada hari Kamis malam ke tempat tinggalnya di Spring Valley, New York. Sebelum pergi, dia mencium kening saya. Saya merasakan suatu transmisi spiritual yang sangat hebat.
Malam itu kami melakukan zikir bersama-sama. Keesokan harinya dia berkata, "Saya ingin menjadikan Anda sebagai darwis saya. Saya ingin memberikan nama untuk Anda." Dia melanjutkan, "Namamu adalah Nur." Dan saya berkata, "Saya mempunyai sebuah nama untukmu: Aziz" -- karena nama itulah yang selalu saya pikirkan. Dan semua darwis yang ada di sana terkejut karena Aziz adalah nama rahasia kelompok itu.
Dalam pengamatan saya ada demokrasi yang nyata dalam kolompok sufi. Tak seorang pun yang merasa lebih utama dari yang lain.
Ketika seseorang ingin menempuh jalan sufi, dia tidak boleh berpikir dalam kerangka kepribadian yang terbatas. Dia harus melihat seluruh kehidupannya, seluruh masa kecilnya, dan pendidikannya semata-mata sebagai sebuah jembatan --jembatan yang sangat sempit-- yang membawanya ke suatu tempat di mana dia akan bertemu dengan gurunya dan memulai latihan spiritual. Pada akhirnya dia larut ke dalam pengukuhan La ilaha ill Allah. Jembatan sempit itu merupakan jembatan menuju Surga persatuan. Di bawah jembatan itu terdapat godaan kehidupan duniawi. Dia tidak boleh terperosok ke dalam godaan itu, baik itu godaan finansial maupun godaan religius. Jembatan itu dapat dilewati hanya jika Anda menginginkan kebenaran. Akhirnya Anda akan mencapai tingkat kesadaran surgawi, tingkat tauhid, tingkat persatuan cinta kasih.
American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York