Apakah Segala Sesuatu Sudah Ditakdirkan?

Dalam lakon Julius Caesar, Brutus berkata, "Manusia menjadi penentu atas nasibnya sendiri."

Benarkah demikian?

Lebih dari 15 milyar tahun yang lalu, penciptaan alam semesta dimulai dari sebuah singularitas dengan rapatan dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga, meledak dan mengembang. Peristiwa ini disebut Dentuman Besar (Big Bang), dan sampai sekarang alam semesta ini masih terus mengembang hingga mencapai radius maksimum sebelum akhirnya mengalami Keruntuhan Besar (kiamat) menuju singularitas yang kacau dan tak teratur.

Dalam kondisi singularitas awal jagat raya Teori Relativitas, karena rapatan dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga akan menghasilan besaran yang tidak dapat diramalkan.


Menurut Stephen Hawking dalam bukunya A Brief History of Time yang terbit pada tahun 1988, bila kita tidak bisa menggunakan teori relativitas pada awal penciptaan “jagat raya”, padahal tahap-tahap pengembangan jagat raya dimulai dari situ, maka teori relativitas itu juga tidak bisa dipakai pada semua tahapnya. Di sini kita harus menggunakan mekanika kuantum. Penggunaan mekanika kuantum pada alam semesta akan menghasilkan alam semesta “tanpa pangkal ujung” karena adanya waktu maya dan ruang kuantum.

Pada kondisi waktu nyata (waktu manusia) waktu hanya bisa berjalan maju dengan laju tetap, menuju nanti, besok, seminggu, sebulan, setahun lagi dan seterusnya, tidak bisa melompat ke masa lalu atau masa depan. Menurut Hawking, pada kondisi waktu maya melalui “lubang cacing” kita bisa pergi ke waktu manapun dalam riwayat bumi, bisa pergi ke masa lalu dan ke masa depan.

Hal ini bermakna, masa depan dan kiamat (dalam waktu maya) menurut Hawking “telah ada dan sudah selesai” sejak diciptakannya alam semesta. Selain itu melalui “lubang cacing” kita bisa pergi ke manapun di seluruh alam semesta dengan seketika.

Atas dasar teori ini, menurut Hawking, segala sesuatu sudah tertentukan hingga hal-hal yang paling remeh temeh. Takdir itu tidak bisa diubah, sudah jadi sejak diciptakannya.

Hawking yang belakangan mengaku ateis, di bukunya yang terbit pada 23 tahun lalu itu, menuturkan: "Pembelaan untuk masalah takdir ini biasanya adalah bahwa Tuhan Mahakuasa dan di luar waktu, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi. Tetapi andaikata demikian, mengapa kita boleh mempunyai kehendak bebas, mengapa kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita? Seseorang praktis tidak boleh disalahkan bila ia telah ditakdirkan untuk merampok bank. Lalu mengapa ia harus dihukum karena perbuatan itu?"

"Orang tidak dapat mendasarkan tindakannya pada gagasan bahwa segala sesuatu telah ditentukan baginya. Sebagai gantinya, orang harus mengacu kepada teori efektif yang menyatakan bahwa ia mempunyai kehendak bebas serta ia harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya."

"Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya merasa bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya lebih mungkin bekerja sama dan bertahan hidup untuk menyebar-luaskan nilai-nilainya. Tentu saja semut termasuk mahluk yang mampu bekerja sama, tetapi masyarakat semut bersifat statis. Mereka tidak mampu bersikap tanggap terhadap tantangan-tantangan yang mereka kenal atau memanfaatkan peluang-peluang baru. Sebaliknya sekelompok individu bebas yang mempunyai tujuan bersama tertentu dapat bekerja bersama dalam meraih tujuan bersama tapi tetap bebas dalam berinovasi. Masyarakat yang demikian lebih mungkin mempertahankan dan menyebar-luaskan sistem nilainya."

Tetapi dalam buku terbarunya, 'The Grand Design' mengatakan bahwa Big Bang tercipta akibat hukum gravitasi dan bukan karena adanya campur tangan Tuhan. “Tidak perlu membawa-bawa Tuhan seolah-olah Ia yang memicu terciptanya alam semesta,” tulis Hawking.

Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat sebelumnya dalam bukunya pada tahun 1988, A Brief History of Time, Hawking menegaskan kepercayaannya akan campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam semesta. "Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap maka itu akan menjadi kemenangan besar dari nalar manusia. Untuk itu, kita harus mengetahui pikiran Tuhan," tulis Hawking, pada saat itu.

--------------

"Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (An Naml, 27:75)

Lauh Mahfuzh (لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali diantaranya adalah dalam surah Az-Zukhruf 43: 4, Qaf 50: 4, An-Naml 27: 75 dan lainnya.

Menurut Tafsir Qurtubi, semua takdir makhluk Allah telah ditulis-Nya di Luh Mahfuz, bisa saja dihapus/ diubah oleh Allah atau Allah menetapkan sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian yang dapat mengubah takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfuz itu hanya doa dan perbuatan baik.
Submit URL