Ali Asani, Profesor di Harvard University, mengajar Bahasa dan Kebudayaan Indo-Muslim, bertutur:
Saya mempunyai seorang mahasiswa pasca sarjana yang sedang melakukan riset literatur-literatur pasca-kolonialisme di jurusan sastra Inggris. Suatu ketika dia datang ke kantor saya untuk meminta bantuan menterjemahkan naskah-naskah orientalisme. Sesudahnya saya ditraktir makan malam. Kami bicara banyak hal dan pembicaraan kami benar-benar menarik. Di tengah-tengah obrolan ketika makan malam itu tiba-tiba dia berkata, "Saya harap Anda tak tersinggung dengan pertanyaan saya yang satu ini." "Pertanyaan apa itu?", tanya saya penasaran. "Bagaimana mungkin seorang intelektual seperti Anda, yang tentu amat rasional dan cerdas, memeluk sebuah agama yang menganjurkan jihad, perang suci, dan terorisme?"
Kalau Anda buka kamus bahasa Arab, Anda tak akan menemukan kata-kata "perang" maupun "suci " di bawah definisi jihad. Istilah itu sendiri terbentuk dari konsonan 'j', 'h', dan 'd'. Dan kalau Anda tengok ke akar katanya, jihad berarti "bekerja keras" atau "berjuang." Jadi kalau Anda berusaha keras untuk bangun dari tempat tidur di subuh hari, itu adalah jihad. Kalau Anda berjuang keras menerobos badai salju untuk pergi kerja, itu juga merupakan jihad. Jadi, sesungguhnya istilah jihad mempunyai pengertian gramatikal khusus, dan dalam konteks keagamaan mempunyai pengertian tertentu.
Sayangnya, sering kali umat Islam menggunakannya secara salah. Mereka pakai istilah jihad secara gampang dikaitkan dengan kepentingan politik. Akibatnya sebuah konsep relijius yang sangat indah telah disalahartikan.
Banyak Muslim yang memandang kemajemukan sebagai suatu ancaman, karena mereka pikir kalau setiap orang bisa mengaku Muslim, bisa-bisa kita kehilangan identitas yang paling mendasar sebagai seorang Muslim. Padahal, sesungguhnya kemajemukan merupakan sebuah kekuatan.
Al-Quran menyebut bahwa tak ada paksaan dalam agama. Bagaimana mungkin sebuah negara atau pemerintahan menggunakan Islam sebagai ideologi politik dengan memaksa rakyatnya. Di Saudi Arabia, ada yang disebut "Polisi Agama". Anda harus menutup toko dan dagangan Anda untuk pergi shalat jika waktunya tiba. Itu bukan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran, melainkan Islam yang digunakan sebagai alat politik.
Dalam perjalanan ke Jeddah dengan bus, kami melintasi sebuah bangunan masjid megah bercat putih. Masjid itu memiliki halaman depan yang cukup luas, dan ketika bus melintas di depan halaman itu si pemandu wisata bertutur: "Di halaman itulah setiap Jumat terjadi eksekusi." Para peserta pun lantas bertanya, "Eksekusi macam apa?" Dia jelaskan bahwa di situ dilakukan eksekusi dengan memenggal kepala, menggunakan pedang. "Itu dilakukan di depan umum," tambahnya. Hanya pada bulan Ramadhan eksekusi itu tak dilangsungkan. Kebetulan kami datang pada bulan Ramadhan.
Juga citra suatu masyarakat yang begitu represif. Tentang peran wanita. Mereka terheran-heran. Mereka bertanya kenapa kaum wanita tak boleh pergi ke Masjid. Padahal, tak ada satu pun ayat dalam Al-Quran yang melarang perempuan pergi ke Masjid, dan begitu pula tak ada satu pun hadis yang mengatur tentang itu. Sejarah juga menunjukkan bahwa di zaman Nabi, kaum wanita juga pergi ke Masjid.
*) American Jihad, Islam After Malcolm X
Terbitan Bantam Doubleday, Dell Publishing Group, Inc., New York 1993