Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan
Toleransi dan kebebasan beragama selalu disandarkan pada ayat la ikraha fi al-Din. Persisnya Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2] : 256), “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui” (la ikraha fi al-din qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy fa man yakfur bi al-thaghut wa yu’min billah fa qad istamsaka bi al-’urwah al-utsaqa la infishama laha. Wallahu sami’un ’alim).
Abu Muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi dala bukunya, Marah Labidz menegaskan bahwa ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tak dibenarkan. Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jins”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ’am (kata yang umum). Dalalah lafzh ’am, menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i (jelas-tegas) sehingga tak mungkin ditakhshish (dibatasi pengertiannya) apalagi dinaskh (dibatalkan) dengan dalil yang zhanni (tidak jelas maknanya).
Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama. Jawdat Sa’id dalam bukunya yang berjudul La Ikraha fi al-Din menyebut la ikraha fî al-din, qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayah kabirah jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat tersebut mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.
Dalam menafsirkan ayat ini, Jawdat Sa’id menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah (al-thariq al-khathi’). Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan (alla ikrah) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar (al-thariq al-shahih). Pengertian ayat itu adalah “tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh sudah jelas (perbedaan) antara tanpa paksaan dan pemaksaan”. Berbeda dengan kebanyakan para mufasir, Jawdat Sa’id menafsir kata “thaghut” dalam lanjutan ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Perihal ayat tersebut, Jawdat Sa’id mengemukakan pandangannya. Pertama, ayat itu memberi jaminan kepada orang lain untuk tidak mendapatkan paksaan dari seseorang. Ayat itu juga memberi jaminan agar seseorang tak dipaksa orang lain tentang sesuatu hal, termasuk dalam hal agama. Kedua, ayat itu bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan sebagai kalimat informatif (kalam ikhbari). Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh seseorang untuk tak melakukan pemaksaan kepada orang lain. Sebagai kalam ikhbari, ayat itu memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang itu tak bisa dikatakan telah memeluk agama itu. Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati, bukan dalam ungkapan lisan. Ketiga, ayat ini melarang membunuh orang pindah agama, karena ayat itu turun untuk melarang pemaksaan dalam soal agama.
Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama, Sulaiman ibn Musa menyatakan, ayat ini dinasakh dengan ayat lain yang membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain. Ia menambahkan, Nabi Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang non-Muslim yang tinggal di Arab untuk memeluk Islam. Ibn Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinasakh ayat perang (ayat al-qital). Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru masuk agama Islam. Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tak mau membayar retribusi (jizyah), mereka wajib diperangi. Ibn Katsîr dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim berkata, ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tak memaksa orang lain masuk Islam. Sementara Thabathaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an berpendapat, ayat itu tak mungkin dinaskh tanpa menaskh alasan hukumnya (illah al-hukm). Illat hukum itu tertera secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy (kesesatan) sudah jelas.
Kedua, ayat tersebut tak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus kepada Ahli Kitab. Mereka tak bisa dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi (jizyah). Pendapat ini dikemukakan al-Sya`bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak. Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia mendengar Umar ibn Khattab berbincang dengan seorang perempuan tua beragama Kristen. “Masuk Islamlah, wahai perempuan tua, niscaya engkau akan selamat, karena Allah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran. Lalu perempuan itu berkata, saya sudah tua renta dan sebentar lagi kematian akan menjemput. Umar berkata, Wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini. Umar kemudian membaca ayat tadi.
Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut sebagai berikut. Pertama, diriwayatkan Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Hibban, Ibn Jarir dari Ibn Abbas. Alkisah, ada seorang perempuan tidak punya anak. Ia berjanji pada dirinya bahwa sekiranya ia mempunyai anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tak akan membiarkan anaknya memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, ayat ini turun sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.
Kedua, ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, Abu Hushain. Dikisahkan, Abu Hushain adalah seorang Muslim yang memiliki dua anak Kristen. Ia mengadu kepada Nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya masuk Islam, sementara anaknya cenderung kepada Kristen. Ia menegaskan kepada Nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut, turun firman Allah tadi yang melarang pemaksaan dalam urusan agama.
Dengan mengetahui sabab al-nuzûl tersebut, jelas bahwa pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Ibrahim al-Hafnawi menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsip dasar ajaran Islam, sehingga tak ditemukan satu ayat pun dalam al-Qur’an atau sebuah hadits yang bertentangan dengan prinsip dasar ajaran ini. Pendapat senada dikemukakan Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Karena keimanan merupakan pondasi agama yang esensinya adalah ketundukan diri, maka—menurut Ridla—ia tak bisa dijalankan dengan pemaksaan. Dengan ini bisa dikatakan, beriman bukan merupakan keharusan atau kewajiban sehingga perlu dipaksakan dari luar. Beriman merupakan pilihan, kesadaran dan ketundukan subyektif manusia atas ajaran-ajaran Allah.
Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyah syahshiyyah) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan. Jamal al-Banna dalam Hurriyah al-Fikr wa al-I’tiqad fi al-Islam menegaskan, Nabi hanya sekadar penyampai pesan. Dia tak punya kewenangan untuk memaksa. Allah berfirman dalam al-Qur’an (al-Ghasyiyah [88]: 21-22) “maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukan orang yang berkuasa atas mereka”. Di ayat lain Allah berfirman (QS, Yunus [10]: 99), ”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu akan beriman semua orang yang ada di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya? Tak seorang pun akan beriman kecuali dengan ijin Allah”.
Abdul Karim Soroush membuat sebuah ilustrasi. Bahwa sebagaimana seseorang menghadapi kematian secara sendirian, maka ia pun memeluk agama secara individual. Setiap umat beragama memang melakukan aksi dan ritus komunal, tetapi bukan keimanan komunal. Jika ekspresi iman bersifat publik, maka esensi iman bersifat gaib dan privat. Bagi Soroush, wilayah iman seperti arena akhirat yang di dalamnya setiap orang dinilai satu-satu. Disebutkan, “Tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. Allah berfirman dalam al-Qur’an (Maryam [19]: 95) “wa kulluhum atihi yawm al-qiyamah farda”.
Tidak banyak manfaatnya memaksa seseorang memeluk suatu agama, kalau tidak diikuti kepercayaan dan keyakinan dari orang tersebut. Agama yang dipaksakan, menurut Jawdat Sa’id, sama dengan cinta yang dipaksakan. “Tidak ada agama dengan paksaan, sebagaimana tidak ada cinta dengan paksaan”. Memeluk suatu agama sejatinya harus diikuti dengan keyakinan yang mendalam terhadap ajaran yang ditetapkan agama itu. Bahkan, setiap orang punya hak memilih antara beragama atau tidak beragama. Nabi pernah menawari salah seorang budak perempuannya, Rayhanah binti Zaid, untuk masuk Islam. Namun, Rayhanah lebih memilih Yahudi sebagai agamanya. Nabi tak marah pada Rayhanah hingga akhirnya ia sendiri yang memutuskan masuk Islam. Ini sebuah teladan. Sebagai majikan pun Nabi tak memaksa budaknya mengikuti agama yang dianutnya.
Tidak dibolehkannya melakukan pemaksaan dalam agama ini bisa dimaklumi, karena Allah memposisikan manusia sebagai makhluk berakal. Dengan akalnya manusia bisa memilih agama yang terbaik buat dirinya. Allah berfirman (QS, al-Kahfi [18]: 29), “Katakanlah: “kebenaran datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang beriman, silahkan, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah kafir. Ini berarti, manusia tak memiliki kewenangan menilai dan mengintervensi keimanan seseorang. Tuhan yang berhak menilai benar dan tidaknya keyakinan. Itu pun dilakukan di akhirat kelak. Allah berfirman (QS, al-Sajdah [32]: 25) “sesungguhnya Tuhanmu yang akan memberikan vonis terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka, nanti pada hari kiamat. Karena keimanan berpangkal pada keyakinan yang terpatri dalam hati, maka yang mengetahui hakekat keberimanan seseorang hanya Allah. Beriman adalah tindakan soliter. Iman merupakan bagian dari komitmen pribadi.
Meminjam terminologi ushul fikih, persoalan beriman dan tidak beriman merupakan haq Allah (hak Allah). Artinya, beriman dan tidak beriman merupakan urusan manusia secara individual dengan Tuhannya, Allah. Pilihan iman atau kufr merupakan tindakan privat-individual. Adalah hak setiap orang untuk kufr atau iman. Sebab, keimanan dan kekufuran tidak dipertanggungjawabkan kepada manusia, melainkan kepada Allah. Tanggung jawab berada di tangan yang bersangkutan dalam hubungannya dengan Allah. Seseorang tak akan dimintai pertanggungan jawab atas dosa orang lain. Demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an (Saba’ [34]: 25), ”katakanlah, kalian tak akan diminta mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tak akan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan kalian”.
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
http://thinker-asratisme.blogspot.com